Kontroversi Kemaksuman Rasul Dalam Perspektif Syiah dan Sunni



     Persoalan "ishmat al-Rasul”, kemaksuman Rasul dan Nabi-Nabi Allah telah diwacanakan para ulama baik salaf maupun khalaf dan telah menjadi bagian akidah yang diyakini keberadaannya dalam mazhab-mazhab Islam  baik Sunni maupun Syi’ah. Kemaksuman (‘ishmah) adalah pandangan bahwa Rasul dan Nabi adalah manusia mulia yang tak mungkin melakukan dosa dan maksiat seperti yang dilakukan manusia pada umumnya. Pandangan seperti ini tidak diyakini oleh umat selain Islam, seperti Yahudi dan Nasrani, yang dalam kitab suci Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, Nabi-nabi dapat berbuat dosa  karena kekhilapan. Ada beberapa nabi seperti Nabi Daud, Nabi Sulaiman, Nabi Musa dan Nabi Luth yang disebut pernah berbuat khilaf seperti minum arak dan berzina karena mabuk. Bagi umat Islam, para nabi dan rasul  khususnya Rasulullah SAW adalah manusia-manusia yang dijamin kemaksumannya oleh Allah SWT, tak mungkin melakukan dosa dan maksiat yang merusak nama baik mereka dihadapan umatnya. Diantara para nabi itu ada yang digelar “Ulul Azmi” yaitu yang paling hebat tantangannya dari umatnya, dan paling ber azam (berkeinginan kuat) untuk meyakinkan umatnya agar beriman kepada Allah yang Maha Esa, yaitu Nabi Nuh, Nabi Ibrahim,
Nabi Musa, Nabi Isa dan Nabi Muhammad SAW. Sekalipun begitu berat tantangan yang dihadapi mereka semuanya mendapat ‘ishmah , perlindungan , pertolongan dan keselamatan  dari Allah SWT. Nabi Nuh dan umatnya yang beriman  diselamatkan Allah dengan bahtera yang dibuatnya atas perintah Allah, dari banjir dahsyat yang menenggelamkan seluruh negeri yang kufur. Nabi Musa dan umatnya selamat dari kejaran Firaun dan balatentaranya yang ingin membunuhnya, dengan menyeberangi laut merah dan ditenggelamkannya Firaun dan balatentaranya di dalam laut yang kembali bertaut setelah Musa sampai ke seberang dan memukulkan tongkatnya atas izin Allah. Nabi Ibrahim tidak hangus terbakar kala dihukum bakar di lautan api oleh Raja Namruz yang zalim bahkan api berubah menjadi dingin dan menyelamatkan Nabi Ibrahim. Nabi Isa a.s. setelah berdakwah sekian lama, juga dimusuhi oleh penguasa yang zalim yang tak ingin manusia bertauhid kepada Allah  dan meninggalkan kepercayaan musyrik penguasa dan para pengikutnya. Nabi Isa diselamatkan Allah dari upaya pembunuhan dan penyaliban, dengan mengangkatnya ke hadirat-Nya. Begitupula Nabi terakhir, Muhammad SAW selamat dari beberapa kali upaya pembunuhan yang ditujukan kepadanya, diracuni oleh perempuan Yahudi, dikepung dan akan dipancung pada malam hijrah, diserang pada perang Uhud, dan  semuanya itu gagal karena Allah melindunginya, memberi ishmah, jaminan keamanan pada beliau. ‘Ishmah ini disebutkan dalam berbagai sumber tentang turunnya ayat 67 S. al-Maidah , bahwa Rasulullah kala berada di rumahnya sebelum ayat ini turun selalu dijaga  secara bergantian oleh para sahabat, begitu pula ada riwayat yang menyebutkan bahwa Abu Thalib selalu mengirim orang-orang dari Bani Hasyim untuk mengawal dan menjaga Rasulullah SAW dari upaya penganiayaan dan pembunuhan. Namun setelah ayat ini turun, Rasulullah SAW  menghentikan pengawalan dan penjagaan manusia dengan mengatakan “qad ashimaniya llah” Allah telah menjaga saya sesuai firman-Nya wallahu ya’shimuka minan nas, Allah menjagamu dari upaya (jahat) manusia.
Persoalan “ ishmah” kemaksuman inilah yang dikaji kembali oleh Muhammad Tajuddin Masiani dalam bukunya “Kontroversi Kemaksuman Rasul dalam Perspektif Syiah dan Sunni”, dengan membandingkan pandangan dua mufassir, satu mewakili Syiah yaitu Al-Thabarsi dalam kitabnya Majma’ al-Bayan  dan lainnya mewakili Sunni yaitu al-Qurthubi dalam kitabnya al-Jami’ li Ahkam al-Quran.
Buku ini menampilkan persamaan pandangan penafsiran dari kedua ulama ini dan juga perbedaan antara mereka.
Bila merujuk kepada Fatwa Majelis Ulama Indonesia pada Jumadil Akhir 1404 H/ Maret 1984, yang menghimbau umat Islam Indonesia yang umumnya berfaham ahlussunnah wal jamaah agar meningkatkan kewaspadaan terhadap kemungkinan masuknya ajaran Syiah yang berbeda dengan Sunni, maka buku ini perlu dibaca sebagai rujukan bagi  perbedaan yang ada antara kedua mazhab ini.  Fatwa MUI menyebutkan a.l perbedaan Syiah dan Sunni:

  1.  Syi’ah menolak hadis yang tidak diriwayatkan oleh Ahlulbait, sedangkan Ahlus sunnah wal jama’ah tidak membeda-bedakan asalkan hadits itu memenuhi syarat ilmu mushtalah hadits.
  2.  Syi’ah memandang imam itu ma’shum (orang suci), sedangkan Ahlus sunnah wal Jama’ah memandangnya sebagai manusia biasa yang tidak luput dari kekhilafan (kesalahan).
  3.  Syi’ah tidak mengakui ijma tanpa adanya imam sedangkan Ahlus sunnah waljama’ah mengakui ijma tanpa mensyaratkan ikut sertanya “ imam”.
  4.  Syi’ah memandang bahwa menegakkan kepemimpinan/pemerintahan (imamah) adalah termasuk rukun agama, sedangkan Sunni ( Ahlus sunnah wal jamaah) memandang dari segi kemaslahatan umum dengan tujuan keimamahan adalah untuk menjamin dan melindungi da’wah dan kepentingan ummat.
  5.  Syi’ah pada umumnya tidak mengakui kehalifahan Abu Bakar as-Shiddiq, Umar ibn al-Khattab dan Usman bin Affan, sedangkan Ahlus Sunnah wal Jama’ah mengakui keempat Khulafa Rasyidin ( Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali bin Abi Thalib).

      

Posting Komentar

0 Komentar